Pages

Sabtu, 17 September 2016

A Psychopath Called "Loner" Part 4: Bedebah Kecil


A Psychopath Called "Loner"

4. Bedebah Kecil

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku pingsan, aku terbangun ketika ada semburan air menyiram wajah dan tubuhku. Samar-samar kulihat wajah anak yang kabur tadi, dia tersenyum. Dia meminum kembali air dari gelas, berkumur-kumur kemudian menyemburkan air itu padaku, ke wajahku. Aku sangat marah, aku berusaha bangkit untuk mencekik lehernya. Tapi, sial! dia mengikat kedua tangan dan kakiku dengan sangat kuat. Dia mengikatku disebuah kursi kayu didalam kamarnya. Anak itu memperhatikanku dengan seksama, dia telah membuka topengku. Dari wajahnya yang menyebalkan itu, aku yakin dia sedang memikirkan sesuatu. Tapi apa?
"Lepaskan aku bedebah kecil. Kau tahu siapa aku? berani sekali kau memperlakukanku seperti ini!!" Aku menatapnya dengan tajam dan penuh kebencian. Berulangkali aku berusaha melepaskan diri namun percuma, tali ini terlalu kuat diikatkan pada tubuhku. Aku sekali lagi berteriak agar dia melepaskanku, namun dia hanya tertawa. Apa dia sudah gila? kenapa dia tertawa?
Dia mendekati lalu membuka kaosku dengan cara mengoyaknya memakai pisau, "Kau seksi juga ternyata. Tuan pembunuh." Dia membelai dadaku. Kemudian menciumi leherku. Sementara pisaunya digesekan keperutku. Oke, itu mengerikan. Aku yakin anak ini sudah tidak waras. Tunggu dulu, jangan-jangan dia sudah menjadi gila ketika melihat mayat orangtuanya, kemudian dia menjadi trauma. Sial, dia bisa saja membunuhku kalau begitu. "Lepaskan aku!" aku meronta seperti orang gila. Namun dia tetap saja tertawa. Aku terus berteriak, lalu gadis itu menamparku. Menampar wajahku dengan keras. Sejenak aku terdiam, belum ada yang berani seperti itu padaku kecuali ibuku. Dia lalu membuka laci meja belajarnya kemudian mengambil sebuah selotip. Selotip itu lalu digunakannya untuk menutupi mulutku.
"Kalau kau berani bergerak sedikit saja, kutusuk kepalamu dengan pisau ini. Kau mengerti?" gadis gila itu mengancamku dengan pisaunya, aku mengangguk karna ketakutan. Sial, dia benar-benar sudah menjadi tidak waras.
"Aku akan bertanya. Kau mengangguk bila ingin mengatakan iya, dan menggeleng bila berkata tidak. Tapi kau harus jujur, aku bisa tahu seseorang berbohong hanya dengan melihat matanya. Kau mengerti" tanya gadis itu, aku kembali mengangguk.
"Bagus. Aku tahu siapa kau, aku sering melihatmu diberita di TV dan juga media online. Apakah kau adalah, Loner?" gadis itu bertanya dengan senyum mengerikan diwajahnya. Aku mengangguk.
"Baiklah, aku akan membuka tali ditangan dan kakimu. Tapi kau harus berjanji akan membawaku bersamamu. Setuju?" gadis ini benar-benar sudah kehilangan pikirannya. Aku telah membunuh orangtuanya dengan keji, tapi dia memintaku untuk membawanya? tapi, masa bodoh. Setelah dia membuka tali ini, akan kupotong lehernya. Aku mengangguk agar dia melepaskan tali sialan ini.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau akan membunuhku setelah aku membuka tali itu bukan? Aku sudah menguasai hampir seluruh gerakan karate. Aku bisa saja mematahkan lehermu dengan sekali serang. Aku juga memegang pisau. Lagipula, tidak ada alasan kau membunuhku. Aku berjanji akan menjadi partner mu. Jadi, bagaimana?" dia mendekati ku. Mendekati tubuhku, wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Ternyata dia sangat cantik dan manis. Aku kembali mengangguk, kali ini aku tidak tahu harus membunuhnya atau tidak. Gadis itu kemudian membuka tali yang mengikat tangan dan kakiku. Kini aku sudah bebas. Dia juga membuka selotip yang menutup mulutku dengan perlahan. Lalu dia memandangi wajahku, sangat lama. Dia tersenyum tapi tidak melihat mataku. Hanya bibirku. Bibirnya sengaja dimajukannya agar dapat mencium bibirku. Kini kami berciuman dengan sangat mesra. Aku memang sering menciumi bibir wanita, tepatnya anak kecil namun baru kali ini aku terhanyut. Bahkan aku sampai menutup mataku. Gadis itu lalu duduk dipangkuanku, sementara kami terus berciuman. Tangannya yang kecil dan bersih membelai punggungku. Gadis itu lalu membuka piyamanya hingga memperlihatkan dadanya yang putih bersih. Dia menuntun tanganku agar membelai dadanya yang indah itu. Dia tersenyun ketika aku melihat wajahnya, senyum yang menggoda. Kami kembali berciuman kemudian ketika dia ingin membuka celanaku, aku menghentikannya. "Ada apa?" tanyanya.
"Apa yang salah denganmu? aku sudah membunuh orangtuamu, dan kau.. Kau menjadi gila seperti ini?" dia tertawa pelan, lalu tersenyum padaku,
"Mereka bukan orangtuaku, kau tahu. Mereka mengadopsiku. Aku hanya menjadi objek siksaan dan pemuas nafsu polisi bajingan itu. Bahkan aku sampai hamil 2 bulan, tapi anak itu digugurkan."
"Lalu?" tanyaku pada anak itu.
"Lalu, aku sudah lama berencana ingin membunuh mereka, tapi aku tidak punya keberanian. Dia terlalu menakutkan. Tapi kau datang, aku senang. Karna itu aku ingin kau membawaku bersamamu. Kita akan menjadi pasangan bahagia, aku akan membantumu." aku berpikir sejenak. Mungkin anak ini benar. Mungkin aku membutuhkan partner.
Lalu aku setuju, anak itu pun menjadi girang sampai-sampai melompat seperti orang yang baru menang lotere kemudian memelukku erat. Ketika dia memelukku, aku merasakan sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Rasanya begitu damai, begitu indah dan menyenangkan.
Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan dari luar, diikuti dengan suara langkah kaki sekitar 5-6 orang. Aku yakin itu adalah para tetangga dan satpam yang mendengar teriakan ketika aku membunuh kedua pasutri itu. Gadis itu panik, dia ketakutan, kusuruh dia memakai bajunya dan mengikuti semua aba-abaku. Aku mengintip dari lubang kunci, memang benar dugaanku. Para tetangga melihat mayat polisi itu dan istrinya, sementara beberapa dari mereka mencari pelakunya. Sial, ada yang datang menuju kamar ini. Aku mengambil pisau yang dipegang gadis itu, bersiap untuk menikam lehernya. Seseorang membuka pintu, aku dan gadis itu bersembunyi dibelakang pintu itu. Ketika dia masuk, aku menutupnya kemudian menusuk leher orang itu dari belakang. Darah bermuncratan kewajahku. Lalu aku menaruh mayatnya dengan perlahan ke lantai.
"Bagaimana ini, diluar mereka masih banyak. Mereka akan segera masuk kekamar jni cepat atau lambat." ucap gadis itu. Dasar bodoh, bukannya memberi ide dia malah membuatku ikut panik.
"Tidak ada pilihan lain. Kita keluar dari kamar ini dan membantai mereka semua dengan cepat, lalu keluar dari tempat keparat ini secepat kita bisa." Dia mengangguk. Pisaunya kuberi kembali padanya, "Dimana tasku? parangku?" gadis itu kemudian menunjuk ke lemari. "Aku menyimpannya disana." Aku membuka lemari itu, mengambil tasku yang penuh dengan uang dan juga senjata api. Lalu memgambil benda kesayanganku, parang yang indah dan berkilat.
Aku bersiap-siap membuka pintu, dan membantai mereka, "kau siap?" tanyaku pada gadis itu. Dia tersenyum lalu tersenyum dengan mengacungkan pisaunya. Aku membuka pintu, tak kusangka gadis itu berlari dengan sangat cepat mendekati orang-orang itu. Kuhitung mereka semua ada tujuh, dua wanita dan lima orang pria. Gadis itu menerjang mereka dengan karatenya. Waw, gila, ini seperti film action saja. Dia benar-benar lincah. Orang-orang itu tidak berkutik, dia dapat mengalahkan mereka semua dengan mudah tanpa memakai pisaunya. Beberapa saat kemudian aku mendekati gadis itu. Dia dapat membuat mereka semua tak sadarkan diri bahkan tanpa bantuanku. "Kau hebat." Aku mengancungkan jempol padanya. "Sudah kubilang, aku sudah menguasai hampir seluruh gerakan karate. Mereka terlalu mudah."
Aku mendekati salah satu dari mereka, seorang ibu muda. Lalu kupotong lehernya, tentu saja darah membanjiri lantai itu. "Ini tugas pertamamu sebagai partner, bunuh sisanya. Bunuh dengan sadis." Awalnya gadis itu seperti enggan. Dia tidak tega, terlihat jelas dari wajahnya. Dasar pemula.
Namun karna terus kudesak, dia akhirnya melakukannya. Dia menyayat leher orang-orang itu dengan pisaunya, dengan menutup mata. Dia menangis ketika menggorok mereka.
"Bagus. Sekarang, ayo kita pergi."
Kami keluar dengan cara aku masuk tadi. Dengan memanjat dinding samping. Butuh waktu lama agar gadis bodoh ini dapat memanjatnya, itupun aku membantunya dengan penuh perjuangan. Ketika kami menaiki motor, ada seseorang didepan kami. Malam ini begitu gelap hingga aku tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya, aku tidak tahu darimana dia datang. Dia memakai jacket hoodie, sarung tangan, dan jeans panjang. Dasar peniru.
"Hai." Dia melambaikan tangannya pada kami, atau padaku.
"Siapa kau?"
"Begitu mudah kau melupakanku kak."
"Apa maksudmu? siapa kau?"
"Andre Sebastian, aku adalah... Adikmu."

0 komentar:

Posting Komentar

Disqus Shortname

Comments system