Pages

Kamis, 23 Juni 2016

Monkey Dream II, Cerita Lain Dari Lucid Dream Versi Gelap




Catatan dari web aslinya: Well, komentar dari para pembaca Monkey Dream mulai bermunculan. Komentar-komentar ini mengaku bahwa kesialan akan menghinggapi siapapun yang membaca cerita ini. Aku membacanya cepat-cepat. Mungkin ini hanya kebetulan, namun 4 hari setelah aku membaca cerita ini, aku mengalami mimpi buruk yang dapat kusebut sekuel dari “Monkey Dream”. Ini memang tak bisa dibandingkan dengan cerita pertama, namun aku akan mengisahkannya di sini. 

Di mimpi ini, aku sedang berada di taman bermain di Nagoya. Aku sedang naik sebuah roller coaster kecil yang mungkin sudah tidak ada lagi di sana. Itu adalah sebuah wahana untuk anak kecil yang akan mengelilingi taman bermain dengan kecepatan rendah. Aku masih sangat kecil ketika terakhir menaikinya, namun seingatku wahana itu berjalan selama 3-5 menit. Tepat sebelum jalan keluar terdapat sebuah terowongan kecil dimana di ujungnya ayah akan berdiri di sana dan mengambil fotoku. Di sampingnya berdiri ibuku, melambaikan tangannya ke arahku dan tersenyum ketika ia memanggil namaku. Aku sangat bahagia saat itu, jadi saat itu merupakan kenangan paling indah dalam hidupku.
Ini terjadi tepat sebelum ayah mulai melecehkanku.
Kereta ini memiliki dua tempat duduk per baris. Di mimpiku, aku berada di barisan paling depan. Kakak perempuanku, yang masih berupa anak kecil dalam mimpiku, duduk di sebelahku. Ketika kami masih kecil, aku sering mendongak ke atas untuk melihat wajah kakakku dan bercanda dengannya. Namun dalam mimpiku, aku sudah berumur 20-an tahun, sehingga dengan perbedaan umur kami, kami berdua lebih tampak seperti ayah dan anak ketimbang kakak adik. Namun merasakan nostalgia dan ingin menikmati mimpi tersebut.
Kereta itu melintasi rel dengan perlahan dan akhirnya kami tiba di terowongan tersebut.
Ketika terowongan itu berakhir, aku bisa melihat ayahku ketika ia masih baik, pikirku.
Namun saat kereta meninggalkan terowongan, aku tak lagi berada di taman bermain. Roller coaster dimana aku duduk telah berubah menjadi kereta api dan kakakku telah menghilang. Aku berada di sebuah gerbong dimana gerbong di depanku merupakan gerbong untuk penumpang yang ingin merokok. Ketika pintu antargerbong dibuka, asap masuk ke dalam gerbongku.
Aku sudah menggunakan shinkansen beberapa kali, jadi aku berpikir bahwa aku sedang memimpikan kereta tersebut.
Aku melihat keluar jendela dan melihat pemandangan yang familiar. Perbedaan satu-satunya antara kenyataan dan mimpiku adalah gerbong ini sangatlah sunyi. Selain itu, aku melihat hanya ada dua orang duduk di tiap baris, meskipun tiap baris bisa menampung hingga dua hingga tiga orang. Semua oran juga terlihat sangat kacau dan berantakan.
Aneh, pikirku. Aku menarik sebuah MP3 player keluar dari tasku dan mulai mendengarkan lagu yang kusuka.
Tiba-tiba kereta memelankan lajunya.
Aneh, ini masih terlalu cepat untuk sampai ke Kyoto? Kita harusnya berhenti dulu di Gifu-Hashima kan? Aku melepaskan kedua earphone-ku untuk melihat di stasiun mana kami berhenti. Namun sepertinya aku melewatkan pengumuman itu karena terlalu asyik mendengarkan musik. Kami tiba di stasiun yang tak aku kenal dan tiba-tiba suara jeritan menggema di dalam gerbong. Pasti ada sesuatu terjadi di bagian belakang gerbong. Namun walaupun suara jeritan itu terdengar jelas, tak seorangpun nampak bereaksi. Apa yang terjadi? Aku mencoba untuk melihat ke belakangku, namun aku tak bisa melihat jauh ke belakangku karena rabun jauhku.
Tak ada yang turun di stasiun itu dan kereta mulai bergerak dengan perlahan kembali.
Baru lima menit kemudian, kereta mulai melambat kembali. Kali ini aku bisa mendengar nama stasiun kereta ini.
“Digantung.” Suara pengumuman itu berkata dan kereta ini kembali berhenti di stasiun yang tak aku kenal. Kemudian terdengar kembali suara jeritan dari dalam gerbong. Aku menoleh dan melihat seorang wanita tua tergantung di belakang gerbong. Ia mencoba melepaskan diri dan mencakari tali yang melingkari tenggorokannya. Ia menendang-nendangkan kakinya, “BANG! BANG! BANG!” di kuris-kursi dan dinding kereta.
Akupun sadar mimpi apa ini. Monkey dream. Aku tahu aku harus bangun secepat mungkin atau mungkin aku takkan bisa bangun selamanya. Namun aku bukan orang yang mampu membangunkan diriku sendiri dari mimpi.
Jadi, aku melihat dan menunggu.
Aku penasaran berapa orang yang sudah terbunuh dan kapan giliranku akan tiba. Seperempat dari kursi-kursi di gerbong belakang telah kosong. Apakah orang-orang tersebut telah dipotong dan disendok, seperti di Monkey Dream yang sesungguhnya?
Tempat dudukku berada di baris ketujuh. Giliranku semakin dekat. Aku harus bangun, namun aku tak bisa. Penjaja makanan lewat, tersenyum sambil mendorong kereta berisi berbagai macam organ dalam.
“Aku tak mampu lagi berada di sini,” aku menampar diriku sendiri, “Cepat bangun! Bangun!”
Aku kembali menoleh dan melihat beberapa orang telah menghilang.
“Mereka lenyap karena mereka terbangun.” Seorang pria berpakaian jas di belakangku berkata, “Jika kamu tak segera bangun, sebentar lagi akan menjadi giliranmu.”
Delapan baris di belakangku, aku melihat darah mengalir.
Aku baik-baik saja. Masih ada enam baris sebelum tiba giliranku. Aku hanya harus cepat-cepat bangun.
Kami tiba di stasiun berikutnya.
“Ditusuk.”
Dan hal mengerikan pun terjadi. Aku mengira aku berada di baris ketujuh, namun pada stasiun itu, lima orang ditusuk menjadi satu seperti sate. Pria di belakangku otomatis akan menjadi yang berikutnya. Namun ia mulai mengigau, “Aku tak ingin bangun. Masyarakat sudah berubah. Istriku ...”
Dengan gemetaran, aku mendengarkan dia mengeluhkan tentang hidupnya.
Dan kemudian aku terbangun.
Aku basah oleh keringat dingin. Mimpi ini terasa seperti mimpi yang sangat panjang. Namun saat melihat jam, aku mungkin hanya tertidur selama 20 menit.
Cerita “Monkey Dream” mungkin telah meninggalkan kesan mendalam bagiku sehingga aku mengalami mimpi semacam itu. Mungkin cerita itu sendiri merupakan “tiket” untuk masuk ke dalam kereta itu.
Aku berharap aku takkan pernah memimpikannya lagi. Aku takut apa yang akan terjadi jika aku sampai di stasiun berikutnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Disqus Shortname

Comments system